ELEGI IBU
BUMI
Ibunda
tengah merintih, didera lara yang kian pedih
Jantungnya
luka berdarah, masih terkoyak parah
Wajah bunda
sendu dalam genangan air mata pilu
Bahunya
yang rapuh menua, terguncang berkalang beban derita
Ulah segala
sesat serakah sepanjang jaman berkisah
Begitu tutur
cerita sang langit yang geram
Kepada
gelegar petir gempita tadi malam
Murkanya tertahan
dibalik gulita dan derasnya hujan
Mencekam, kuliti
seluruh tembok keakuan.., dan kemunafikan
Tiada yang berucap,
tiada yang bertanya, tiada yang bergerak
Bahkan
nafas – nafas itu seolah senyap terhempas tak beriak
Merapi nan
renta terkekeh sinis
Asap pekatnya
semburkan kelakar satir beraroma sadis
Menyapa para
munafik yang pongah mendulang nista
Nodai singgasana
keramat bumi yang dipuja
Bebatuan bisu bernyanyi,
semilir bayu menari penuh kegilaan
Gagak hitam
laungkan sajak nyinyir kematian
Mayapada muram,
petisinya karam tak terindahkan
MISTERI NOKTAH
Perlahan cinta
merobek kedua sayapku
Membuat akalku
lumpuh mengelu
Menikam kejam
relungku, diantara derit rumpun bambu
Nafasku sesak
terengah, diantara pecahan pedih dan murka
Berkaca pada
cermin semesta, sungguh hatiku kelam merana
Lama sudah tak
terjamah bias purnama,
Terbiar tanpa
kecupan hangat sang surya
Langit dan bumi
menghukum jiwaku
Terkubur aku
dalam pusara diri palsu
Terbakar qalbuku
diantara dendam sesalku
Remuk jantungku,
aku kehilangan diriku
Hampa di tengah
pusaran lumpur hitam, bertunaskan kembang bangkai
Berkubang dalam
nanah busuk dunia, merana rindui cahaya
Sentuhlah aku
dengan sinarmu, hapuskan bilur – bilur sembilu
Jangankan kedua
sayap ini, cintaku..
Sementara segalaku
tercipta darimu
Namun aku ingkar
dalam buai nafas sang nafsu
Mataku telah
kubutakan dengan ilusi dan cinta palsu
Sesalku beterbangan
diantara kamboja putih yang berguguran
Rinduku mengental
disetiap dingin malam yang mengkristal
Menjadi budak
kesepian yang sekarat
Menjaga serpihan
harap dalam relung yang berkarat
Wahai samudera
biru, maka tenggelamkanlah aku
Demi noktah jiwa
yang meradang, merajuk waktu untuk kembali pulang
KIDUNG CINTA TERATAI
SEPARUH
Sendiriku berakar
menghujam qalbu
Membunuh waktu,
ditepian hutan merindu
Dimana
hanya semak belukar yang menangkap wajahku
Riuh sapa
kawanan ilalang, bersambut iringan pantun sang awan
Angin yang
misterius, melenggang pamit berhembus
Tinggalkan
sepenggal kisah kasih teratai di telaga kering nan tandus
Matahari menatap
nanar emosi jiwa yang liar
Diantara kesepian
dan kegelapan rimba yang samar
Putus ikatan,
kelopak layu berguguran
Perpisahan tanpa
ritual, jatuh terkulai tanpa lara dan nestapa
Warnanya kian
memudar, ditelan seribu satu purnama
Kerontang
panjang, dahaga membakar kehampaan
Namun akar cinta
masih lagi bernafas mesra
Tetap menanti,
tanpa bertanya musim berganti
Demi waktu,
merangkai kasih untukmu Tuanku
Betapa nafas
hangatmu masih lembut memelukku
Aku masih untukmu
Tuanku..
Meski kering dan
sunyi telagaku
Tiada lelah
menatapmu, dibawah geiat sinar mentari milikmu
Duduk bersahaja,
ditengah buasnya rimba raya
Namun tiada
yang pernah bias membuatku ternoda
Daku mungkin tak
lagi utuh, rapuh, dengan jiwaku yang separuh
Semakin cinta ini
ta terkendali dan tumbuh
Bahkan
gugurku adalah atas cintamu.., Tuanku…
RINDU KASMARAN
Wahai mawar
jelita nan mekar
Hari ini ingin
rasanya kuajak kau berbagi syair kelakar
Memagut harummu
hingga mabuk segar
Melumat habis
jelitamu yang merekah menawan
Duhai sang bayu,
bawa aku terbang ke langit biru
Akan kurakit awan
menjadi singgasanaku
Merayu mentari,
mengajaknya mencipta pelangi
Dan menjadikanku
satu – satunya bidadari
Samuderaku yang
biru…
Tak lagi
kutakutkan amuk gelombang itu
Ijinkan aku
berdansa mesra bersama ombakmu
Hingga ia mabuk
dan takluk akan pesona tarianku
Kasihku.., jiwaku
lunglai dibuai debaran..
Diantara
kemilau wajah rembulan keemasan
Terimlah
persembahan birahi cinta sang fakir
Telanjang
pasrah seiring nafas dan jiwa kuberserah
Leburkanlah
aku, yang lama terbiar beku dalam belenggu rindu
ANTARA ADA
DAN TIADA
Dingin,
siapa yang berani mengoyak..
Hening,
siapa yang mampu menjamah...
Sang akar
perlahan semakin dalam menghujam bumi
Tiada yang
tahu, tiada yang peduli
Semerbak
harum sedap malam
Terurai
lembut diantara kenangan yang hangat berdenyut
Seperti aku yang
tergenang dalam kubangan rindu
Terpuruk dalam
misteri pusaran waktumu
Angin melambat,
tercekat diantara bebatuan bisu pekat
Daun – daun
kering berguguran tanpa pesan dan tangisan
Dihantar tatapan
hampa rembulan, pada malam yang terkulai telanjang
Nyanyian seruling
terdengar melolong, kidung angin nan kosong
Tak pernah
ada yang hilang, tiada yang kehilangan
Rindu
adalah suatu keterpisahan, dan cinta adalah penyatuan
Tiada jarak
nafas dilepas, tiada buta batin yang bermata
Rasa hanyalah
ilusi, prahara pun sekedar fatamorgana
Sejati kuliti
nafas dan tubuh jiwa
Leburlah diri
dalam sejati sang Cinta
Antara ada dan
tiada…
Sempurna
Sabda Alam, Desember 2018